26 Agustus 2008

Positive Thinking Di Era Globalisasi Menurut Islam

Oleh : Drs HM Abid Fauzi MM

Secara naluriah, setiap manusia pasti merindukan perubahan dan kemajuan dalam segala aspek kehidupannya.Baik secara individu, maupun sosial untuk membangun jiwa serta pikiran yang bersih menuju positive thinking. Terutama dalam menyikapi kehidupan yang sarat dengan tantangan di era globalisasi saat ini.

Banyak langkah yang ditempuh untuk membangun jiwa menuju pola pikir yang positive thinking dan pikiran yang bersih berdasarkan hati nurani yang fitrah. Dimulai dengan mengubah paradigma dan meluluskan tekad dan niat yang tulus untuk meraih perubahan. Tidak berpikiran statis (jumud), tak angkuh, aniaya, egoisme, menjadi sosok yang berbeda, teguh dalam prinsif, istiqomah serta ridho dalam menerima takdir Allah SWT.

Upaya membangun jiwa positive thinking dalam kajian fokus kali ini, mari kita mengambil beberapa penelitian yang membahas tema kecemasan jiwa dari sisi pandang agama Islam yang dilandasi oleh keimanan yang telah meresap dalam qalbu manusia yang hatinya mati dapat dibangkitkan dengan ketenangan dan ketenteraman jiwanya.Awa man kaana mayyitan, faahyaynaahu wa ja’alnaa lahunuuron, yamsyii bihii fin naasi kamam matsaluhu fidhdhulumaatilaysa bikhooriji minhaa.Dan apakah orang-orang yang sudah mati hatinya kemudian dia Kami hidupkan dan Kami berikan cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia bisa berjalan,bergaul di tengah manusia seperti orang yang sedang berjalan dalam gelap gulita sekali-kali dia tidak dapat keluar darinya.

Ada beberapa kiat bagaimana membangun jiwa yang memiliki positive thinking secara Islam yang dirilis oleh Adil Fathi, Abdullah yang disadur dari buku yang judul aslinya asyi-syiruunahu nashiyhatan naajihatan lillatiy hiyaminalqolbi yang diterjemahkan oleh Faishal Hakim Halimy, yakni sebagai berikut, pertama, luruskan pikiran anda.

Berdasarkan QS Arro’dhu: 11,ayat tersebut menjelaskan tentang hukum perubahan dalam kehidupan manusia.Oleh karenanya keadaan anda tidak akan berubah dari satu kondisi selama anda belum mengenal hukum perubahan ini dengan baik. Maka tinggal upaya anda untuk mengatasi rasa cemas atau agar terbebas dari keresahan.Tidak akan berguna hidup anda adalah refleksi dari gaya berpikir anda dengan kapasitas anda pula. Anda bisa sakit atau juga bisa menikmati sehat.

Kedudukan seseorang bukan penentu kebahagiaan atau kesengsaraan seseorang. Tetapi bagaimana menyikapinya mengubah cobaan berat menjadi sebuah karunia seperti diungkap oleh Mujtahid dan ulama besar Ibnu Taimiyah berkata, Apa yang dilakukan oleh musuh-musuhku? Tamanku dan surgaku berada dalam dadaku. Membunuhku sama halnya dengan mati syahid. Mengasingkanku sama dengan bertamasya, memenjarakanku sama dengan berkhalwat.

Kedua, tinggalkan sifat perfeksionisme, yaitu sifat orang-orang yang menginginkan segala sesuatunya berjalan dengan semestinya atau berjalan dengan sekehendaknya. Sifat ini banyak menjadikan orang stress dan gangguan jiwa berupa cemas atau gangguan-gangguan lainnya. Ciri-ciri sifat perfeksionisme adalah a). Mereka tidak mau menerima kekurangan yang ada pada dirinya. b). Mereka ingin segala maksud dan tujuannya tercapai dengan mulus tanpa rintangan sesuai dengan yang diinginkan. c). Memiliki sifat hipokrit (munafik). Ada hadits Nabi Muhammad SAW yang mengandung makna demikian: “Orang yang mati syahid, orang yang berilmu, orang yang mengaku dermawan, ketiga-tiganya terlempar ke neraka lantaran lahiriahnya berjiwa malaikat,tapi karakternya berhati iblis”.

Ketiga, hilangkan rasa cemburu terhadap apa yang dimiliki orang lain. Rasa cemburu salah satu sebab timbulnya rasa cemas. Rasa cemburu timbul lantaran kurangnya memiliki sifat kepercayaan diri. Rasa cemburu tidak hanya menimpa pada sektor kehidupan rumah tangga saja, akan tetapi bisa dalam sector lainnya. Bisa cemburu lantaran orang tersebut kurang dihormati di masyarakat, padahal orang tersebut pintar, alim dan lainnya. Bisa cemburu lantaran kurang sukses dalam bidang ekonomi, politik, sosial, jabatan, gelar akademik dan sebagainya. Ingatlah, bahwa berpikir cemburu adalah cara berpikir yang keliru dan salah. Kita memiliki rasa percaya diri terhadap kemampuan yang kita miliki. Ingatlah, kebahagiaan anda bukan dari orang lain, tetapi muncul dari diri anda sendiri.

Keempat, jadilah sosok berbeda dan jadilah diri sendiri.Islam sebagai agama kita telah menentang sifat ikut-ikutan.Islam sangat mengagumkan dalam independensi dalam kepribadian individu. Dalam Islam istilah ikut-ikutan dinamakan imma’iyyah, yang diambil dari kata imma’a yang tersusun dari 2 kata yang berarti jika dan ma’a, bersama-sama.

Jadi artinya, jika orang berbuat ini, maka saya bersama mereka.Rasulullah SAW bersabda, “Laatakuunuu imma’atan. Qooluu: Wamaa imma’atan ya rasuulallaah?Qooluu: Inaa ma’an naasi inahsanan naasu ahsanan, wa indholamuu, dholamnaa. Artinya:“Janganlah kalian ikut-ikutan.Para sahabat bertanya: Apa arti Imma’atan ya Rasulullah?Rasulullah SAW menjawab, “Saya bersama orang-orang yang jika orang-orang berbuat baik, maka saya pun berbuat baik. Jika mereka berbuat zalim, maka saya pun berbuat zalim, melainkan aturlah dirimu sendiri,” hadits Turmudzi.

Sistem tarbiyah yang dilakukan Nabi Muhammad SAW kepada para sahabatnya tak berdasarkan metode ikut-ikutan, dengan tujuan agar menghasilkan karakter yang berbeda beda, tapi memiliki keunggulan masing-masing. Sesuai dengan porsinya. Mari kita renungkan hadits Rasulullah SAW yang maknanya, “Orang yang paling penyayang kepada ummatku adalah Abu Bakar. Orang yang paling tegas dalam urusan agama atau hukum Allah adalah Umar bin Khotob, orang yang memiliki rasa malu adalah Utsman bin Affan, orang yang pandai membaca Quran adalah Ubay bin Ka’ab, orang yang pandai ilmu faroo-idl adalah Zaid bin Tsabit, orang yang paling pandai atau ‘alim adalah Mu’adz bin Jabal. Bukankah setiap umat ini ada yang berjiwa pemimpin? Dan orang yang memiliki jiwa ini adalah Abu Ubaidah bin Zarrah,” HR AtTirmidzi, An Nasa’I, At Thabarani dan Al Bayhaqqi.

Kelima, hilangkan penyakit hati.Penyakit ini tentu bukan virus atau sejenis mikroba. Akan tetapi penyakit ini akibat adanya kerusakan pikiran yang bersumber dari hati manusia. Dan akibat tipisnya iman kita kepada Allah SWT. Bahaya sifat ini ditegaskan Nabi Muhammad SAW, Lyyakum wal hasada. Fainnal hasada yak-kulul hasanaati kamaa takkulun naarul hathob.Aw qoolal ‘usyba, rowaahu abuu daawudu. Waspadalah kalian dari sifat iri, karena sifat iri itu akan memakan kebaikan-kebaikan, sebagaimana api memakan kayu bakar atau rerumputan kering, Hadist Riwayat Abu Dawud.

Khotimah, tantangan hidup manusia di era globalisasi saat ini berkaitan dengan bagaimana cara membangun nilai-nilai positive thinking. Maka yang perlu kita sikapi sebagai da’i adalah bagaimana seharusnya profil seorang da’i yang selalu memberi pencerahan dan tausiyah kepada umat dalam membangun masyarakat madani yang berperadaban seperti diungkap oleh Nurcholis Madjid mengutip masyarakat yang pernah dibangun oleh Rasulullah SAW di Madinah.

Ada 5 pilar dalam membangun masyarakat madani, Satu, masyarakat rabbaniyah, masyarakar religius, yang dilandasi semangat berketuhanan atau tauhidiyah. Dua, masyarakat demokratis, hidup dalam suasana musyawarah dalam memecahkan persoalan kemasyarakatan atau muamalat. Ketiga, masyarakat toleran. Masyarakat Madaniyah adalah masyarakat majemuk, plural, baik dari suku maupun agama. Keempat, masyarakat yang berkeadilan. Kelima, masyarakat yang berilmu.

[Penulis adalah pemerhati masalah sosial kemasyarakatan]

Sumber : www.madina-sk.com edisi 28 Juli - 3 Agustus 2008


Tidak ada komentar: