23 Mei 2008

Budi Pekerti Luhur

Oleh : H. Usep Romli H.M.

NABI Muhammad SAW. diutus menjadi Nabi dan Rasul, membawa tugas utama mendidik budi pekerti umat. Memperbaiki perilaku manusia agar berakhlak mulia (akhlakul karimah). Beliau bersabda, "Innama buitsu li utamima makarimal ahlak (Sesungguhnya kami diutus untuk menjadikan manusia berakhlak mulia).

Pada masa kelahiran Nabi SAW., hingga beliau diangkat menjadi Nabi dan Rasul, kehidupan masyarakat Arab di Kota Mekah dan di seluruh jazirah Arab, dalam keadaan kacau balau. Aturan tidak ada, hukum tidak tegas. Sebab yang menjadi ukuran harkat derajat manusia, semata-mata hanya pada kondisi fisik belaka. Gagah, kuat, tampan, cantik. Dengan demikian, orang-orang yang dianggap lemah, terutama kaum perempuan, dilenyapkan saja.

Pada waktu itu, mempunyai bayi perempuan dianggap hina. Maka setiap ada bayi perempuan lahir, langsung dikubur hidup-hidup karena dianggap tidak akan berguna untuk menopang kekuatan orang tua dan keluarga. Sebab yang diperlukan adalah laki-laki calon pahlawan di medan perang.

Keadaan materi, juga menjadi peringkat pertama. Kaya, termashyur, banyak pengikut, keturunan darah biru, dan sebagainya. Sedikit pun tak menghargai orang-orang miskin, orang-orang kebanyakan, yang mereka tetapkan sebagai budak-budak sasaran penghinaan.

Oleh karena itu, zaman tersebut, dinamakan zaman jahiliah. Zaman penuh kebodohan. Namun bukan berarti bodoh otak, tak dapat tulis baca. Melainkan bodoh dalam pengertian tidak memiliki akhlak, tidak memiliki budi pekerti yang baik.

Pada masa itu, secara intelektual, orang-orang Arab sudah terkenal sebagai ahli sastra. Pencipta puisi (syair) dan, prosa (atsar) yang indah-indah. Terkenal sebagai orator yang memikat gaya bahasanya. Setiap tahun, mereka mengadakan pasar malam Ukadz, yang diisi perlombaan menulis karya sastra. Yang paling indah ditempel pada tembok Kabah agar dibaca semua orang, disanjung dan dipuji keindahannya. Nama-nama para sastrawan Arab di zaman jahiliah, seperti Umrul Qoisy, Bari-un Nabih, Thorfah Abu Ziyad, dsb, hingga kini masih lestari karya-karya mereka terus berkumandang dalam setiap kajian bahasa dan sastra Arab.

Maka istilah jahiliah sama sekali tidak identik dengan zaman batu, zaman primitif. Namun identik dengan perilaku jahat, kasar, ganas, tidak menghargai orang lain, tidak mengenal tata krama adab sopan santun, dan tak dapat membedakan salah dan benar. Yang penting dapat mengumbar nafsu melampiaskan amarah pada setiap kesempatan, baik terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi.

Hal ini perlu ditegaskan sebab banyak yang berpendapat bahwa jahiliah sama dengan kuno. Sebuah pendapat yang amat salah. Sebab jahiliah berkaitan dengan akhlak atau mental, dan budi pekerti. Tidak dengan kemajuan atau kemunduran zaman. Bangsa Arab jahiliah, sebagaimana diungkapkan di atas, sudah menguasai kebudayaan tinggi. Selain terkenal sebagai pencipta dan penikmat sastra, mereka juga terkenal sebagai ahli perniagaan yang ulung.

Dalam Alquran, Surat Al Quraisy, dijelaskan kebiasaan (ilaf) orang Arab Quraisy, yang pada musim dingin (as-syita) berniaga ke kawasan selatan (Yaman) yang bersuhu hangat. Sementara itu pada musim panas (ash shoif), menuju ke utara (Syam atau Suriah) yang bersuhu sejuk. Berarti yang jahiliah itu, sudah mengenal pengetahuan tentang perdagangan dan peralihan cuaca. Jika pada zaman modern sekarang, masih ada orang, kelompok atau institusi, menganggap kekuatan dan keindahan fisik, serta hal-hal bersifat material lainnya, sebagai ukuran kamajuan, dapat disebut berpola pikir jahiliah. Walaupun tampak mewah, megah, sehat, harum, naik-turun kendaraan mutakhir, namun tidak berperangai halus, kejam, meremehkan orang lain, dapat dikategorikan jahiliah.

Meminjam istilah Muhammad Al Gazhali, tipe orang semacam itu, merupakan profil jahiliah modern. Karena hakikatnya masih diselimuti kebodohan-kebodohan perilaku.

Orang yang merasa senang berbuat kejahatan, puas jika mampu menyiksa orang lain, merampas hak orang lain (korupsi), dan sejenisnya, itu pertanda berjiwa jahiliah. Sebab orang berjiwa modern, sebagaimana dinyatakan Nabi Muhammad saw. idza sa-atka sayyiatuka wa sarrotka hasanatuka fa anta muminun (jika engkau merasa tidak tenang karena berbuat kesalahan, namun merasa gembira sebab telah berbuat kebaikan, merupakan pertanda engkau manusia beriman sempurna).

Berdasarkan logika hadis tersebut, orang yang merasa bahagia jika berbuat keburukan dengan alasan apa saja, bukanlah orang beriman. Sementara itu orang tak beriman, sama dengan orang yang bodoh (jahil), dan berpandangan jahiliah. Adapun orang yang gembira, jika berbuat kebaikan serta kebajikan, itulah pertanda Mumin. Derajat orang beriman, yang mendapat petunjuk ke jalan haq, bersih dari hal-hal dosa dan kejahatan, dinilai oleh Allah SWT sebagai orang yang mendapat kebahagiaan (Q.S. Asy Syamsu : 10).

Sebagian tanda dari orang-orang berbudi pekerti luhur adalah menunjukkan sikap tidak berlebihan, baik dalam berbicara maupun di dalam bertindak. Ketika bicara, tidak dengan suara keras membentak-bentak. Isi pembicaraannya pun tidak menyinggung hati dan perasaan orang yang mendengarnya. Dalam tindakan, selalu tertib, penuh kerendahhatian, jauh dari keangkuhan, dan menggagah-gagahkan diri.

Sikap besar kepala yang ditunjukkan dalam perilaku, dilarang keras oleh Allah SWT (Q.S. Luqman : 19). Sebab hakikat manusia, walaupun mengaku dan merasa modern, maju serta kuasa, tetap dalam kedaan lemah. Tak berdaya sama sekali. Allah SWT (Q.S. An Nisa : 28) menyatakan wa huliqal insana dlaifan (Dan manusia diciptakan dalam keadaan lemah).

Kekuatan manusia, dalam kelemahannya itu, adalah memiliki akhlak mulia, budi pekerti halus, dan bagus. Bersih dari sifat-sifat ganas, kejam, dan tidak tunduk kepada hawa nafsu jahiliah. Sebab, kepada setiap orang yang berbuat baik, Allah SWT akan menunjukkan jalan serta selalu menyertainya. (Q.S. Al Ankabut : 69).***

Penulis, penggiat Majelis Taklim di Cibiuk Limbangan Garut.

Tidak ada komentar: